Thursday, 30 July 2015

Makalah Fiqih - Kaifiyat Mandi

Makalah Fiqih - Kaifiyat Mandi
Oleh: Qyu Ahmad


Link Download Gratis :
Daftar Pustaka : http://adf.ly/1LpUa8


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB  I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................... 1
BAB  II : PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Mandi ......................... 2
B. Hal-hal Yang Menyebabkan Mandi .......................... 4
C. Rukun Mandi .......................................................... 4
D. Sunat-Sunat Mandi .................................................. 5
E. Mandi-mandi Yang Disunnahkan ............................. 6
BAB  III : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 9


BAB  I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap kegiatan Ibadah umat Islam pasti melakukan membersihkan (thaharah) terlebih dahulu mulai dari Wudhu, Mandi ataupun tayyamum dan  banyak umat Islam sendiri belum mengerti ataupun sudah mengerti tapi dalam praktiknya menemui sebuah masalah ataupun keraguan atas hal yang menimpanya.
Dalam makalah ini, akan penulis bahas masalah tentang mandi mulai dari dasar hukum mandi sampai kepada hal-hal yang disunnahkan dalam mandi. Karena penulis merasa masih banyak yang kurang begitu mendalami masalah mandi terutama dalam hal tata cara mandi, karena disitu banyak terdapat perbedaan pendapat di antara kalangan ulama.
Alasan penulis mengangkat makalah dengan topik mandi karena mandi adalah hal penting yang menjadi penentu diterima atau tidaknya ibadah seseorang. Tidak sah mandinya berarti tidak sah juga ibadahnya yang dilaksanakannya dengan mandi tersebut. Sehingga sangatlah penting bagi kita khususnya penulis sendiri mendalami masalah mandi agar kita terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam hal kaifiyat mandi.
Penulis merasa makalah ini sangatlah jauh dari sempurna, sehingga sangat diharapkan masukan agar makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

BAB  II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Mandi
Pengertian mandi dapat ditinjau dari dua segi yaitu: Dari segi bahasa, mandi berarti mengalirkan air ke seluruh badan. Dari segi syara‘, mandi bermaksud mengalirkan air ke seluruh badan dengan niat yang tertentu.
Mandi besar (mandi junub atau mandi wajib) adalah mandi dengan menggunakan air suci dan bersih (air mutlak) yang mensucikan dengan mengalirkan air tersebut ke seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tujuan mandi wajib adalah untuk menghilangkan hadas besar yang harus dihilangkan sebelum melakukan ibadah sholat.
Dasar hukum mandi wajib yaitu Al Qur’an dan Hadis Nabi sebagai berikut:
1. Qur`an Surah : Al-Maidah ayat 6
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُواْ
“Dan jika kalian junub maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)
2. Qur`an Surah : Al-Baqarah ayat 222
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, “Haid itu adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid. Dan janganlah kalian mendekati (melakukan jima’ dengan) mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah bersuci (mandi), maka datangilah (jima’) mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)
3. Hadis Nabi SAW yang berbunyi: 
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi SAW, beliau bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا فَقَدْ وَجَبَ الْغَسْلُ
“Jika seseorang (lelaki) duduk di antara empat anggota badannya (wanita), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib banginya mandi.” (HR. Al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Ibnu Daqiq Al-Id menyatakan bahwa makna ‘empat anggota badan wanita’ adalah: Kedua tangan dan kedua kakinya atau kedua kaki dan kedua pahanya.
Sementara makna bersungguh-sungguh di sini, Ibnu Rajab menyatakan, “Dia adalah ungkapan akan kesungguhnan lelaki memasukkan kemaluannya ke dalam farj wanita.”
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
وَإِنْ لَمْ يَنْزِلْ 
“Walaupun dia (mani) tidak keluar.”


B. Hal-hal Yang Menyebabkan Mandi
Adapun perkara yang mewajibkan seseorang mandi yaitu sebagai berikut:
1. Bertemu dua khitan (bersetubuh) yaitu apabila masuknya hasyafah zakar atau sekadar yang ada bagi zakar yang kudung ke dalam farj perempuan yang masih hidup dengan sempurna walaupun tidak keluar mani.
2. Mengeluarkan air mani baik disengaja maupun tidak sengaja
3. Setelah haidh (menstruasi), yaitu darah yang keluar dari pangkal rahim ketika wanita dalam keadaan sehat pada waktu yang tertentu.
4. Melahirkan anak atau bersalin (wiladah).
5. Keluar nifas, yaitu darah yang keluar selepas bersalin.
6. Mati, kecuali mati syahid.
Bagi mereka yang masuk dalam kategori di atas maka mereka berarti telah mendapat hadas besar dengan najis yang harus dibersihkan. Jika tidak segera disucikan dengan mandi wajib maka banyak ibadah orang tersebut yang tidak akan diterima Allah SWT.
C. Rukun Mandi
Adapun rukun mandi adalah sebagai berikut:
1. Berniat pada permulaan kena air pada badan
Bagi orang yang berjunub niatnya ialah mengangkat janabah atau hadath besar. Niatnya seperti berikut:

Maksudnya:
“Sahaja aku mandi junub kerana Allah Ta`ala”.
atau

Maksudnya:
“Sahaja aku mengangkat hadath besar kerana Allah Ta`ala”.
Bagi orang yang datang haidh atau nifas niatnya ialah mengangkat hadath haidh atau nifas. Niatnya adalah seperti berikut:

Maksudnya:
“Sahaja aku mandi daripada haid kerana Allah Ta`ala”.
atau

Maksudnya:
“Sahaja aku mandi daripada nifas kerana Allah Ta`ala”.
2. Menghilangkan najis yang terdapat pada tubuh badan.
3. Meratakan air ke seluruh badan terutama kulit, rambut dan bulu.
D. Sunat-sunat Mandi
Ada beberapa perkara sunat pada saat mandi, yaitu:
1. Mendahulukan membasuh segala kotoran dan najis dari seluruh badan.
2. Membaca basmalah pada permulaan mandi
3. Melakukan wudhu/wudlu sebelum mandi wajib.
4. Mandi menghadap kiblat
5. Membasuh badan sebanyak tiga kali
6. Mendahulukan badan sebelah kanan daripada yang sebelah kiri
7. Membaca do'a setelah wudhu/wudlu
8. Dilakukan sekaligus selesai saat itu juga (muamalah)
E. Mandi yang Disunnahkan
Islam agama yang mencintai kebersihan bagi umatnya, bukan hanya kebersihan rohani akan tetapi kebersihan jasmani pula. Oleh karena itu selain mewajibkan mandi dan membersihkan diri pada saat-saat tertentu syari’at agama kita juga menganjurkan mandi pada waktu-waktu tertentu sebagai berikut:
1. Mandi hari Juma‘at bagi orang yang hendak pergi sembahyang Juma‘at. Waktunya dari naik fajar sadiq.
2. Mandi hari raya fitrah dan hari raya adhha. Waktunya adalah mulai dari tengah malam pada hari raya itu.
3. Mandi karena minta hujan (istisqa’).
4. Mandi karena gerhana bulan.
5. Mandi karena gerhana matahari.
6. Mandi karena memandikan mayat.
7. Mandi karena masuk agama Islam.
8. Mandi orang gila selepas pulih ingatannya.
9. Mandi orang yang pitam selepas sadar dari pitamnya.
10. Mandi ketika hendak ihram.
11. Mandi karena masuk Makkah.
12. Mandi karena wuquf di ‘Arafah.
13. Mandi karena bermalam di Muzdalifah.
14. Mandi karena melontar jumrah-jumrah yang tiga di Mina.
15. Mandi karena tawaf iaitu tawaf qudum, tawaf ifadhah dan tawaf wida‘.
16. Mandi karena sa‘i.
17. Mandi karena masuk ke Madinah.

BAB  III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pengertian mandi dapat ditinjau dari dua segi yaitu: Dari segi bahasa, mandi berarti mengalirkan air ke seluruh badan. Dari segi syara‘, mandi bermaksud mengalirkan air ke seluruh badan dengan niat yang tertentu.
2. Adapun perkara yang mewajibkan seseorang mandi yaitu: Bertemu dua khitan (bersetubuh), Mengeluarkan air mani baik disengaja maupun tidak sengaja, Setelah haidh (menstruasi), Melahirkan anak atau bersalin (wiladah), Keluar nifas, yaitu darah yang keluar selepas bersalin, Mati, kecuali mati syahid.
3. Adapun rukun mandi yaitu: Berniat pada permulaan kena air pada badan, Menghilangkan najis yang terdapat pada tubuh badan, dan Meratakan air ke seluruh badan terutama kulit, rambut dan bulu.
4. Ada beberapa perkara sunat pada saat mandi, yaitu: Mendahulukan membasuh segala kotoran dan najis dari seluruh badan., Membaca basmalah pada permulaan mandi, Melakukan wudhu/wudlu sebelum mandi wajib, Mandi menghadap kiblat, Membasuh badan sebanyak tiga kali, Mendahulukan badan sebelah kanan daripada yang sebelah kiri, Membaca do'a setelah wudhu/wudlu dan Dilakukan sekaligus selesai saat itu juga (muamalah).


DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah. Jilid 1-2. Bandung: PT Al- Ma’arif, Cet 3.


Dr. H. Nasrun Harun, MA. 2000. Fiqh Muamalat. Jakarta: Gaya Media Pratama.


Al Jaziri, Abdurrahman. 1996. Fiqih Empat Madzhab. Jakarta: Darul Ulum Press.


KH. Ahmad Kosasih, M.Ag. 2011. Mandi Yang Disunnahkan (online) http://ahmadriyadhmz.wordpress.com/2011/04/26/mandi-yang-disunnahkan/ Sabtu, 14 Mei 2011


Admin. 2009. Pengertian Mandi Wajib/Besar/Junub, Tata Cara Dan Hukum Dalam Islam (online) http://organisasi.org/pengertian-mandi-wajib-besar-junub-tata-cara-dan-hukum-dalam-islam Sabtu, 14 Mei 2011


Link Download Gratis :
Daftar Pustaka : http://adf.ly/1LpUa8

Makalah Filsafat Ilmu - Kedudukan Filsafat Ilmu Dalam Sistematika Filsafat

Makalah Filsafat Ilmu - Kedudukan Filsafat Ilmu Dalam Sistematika Filsafat
Oleh: Qyu Ahmad



Link Download Makalah Gratis Via Mediafire:
Daftar Pustaka : http://adf.ly/1LpSms


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB  I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................... 1
BAB  II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Ilmu .......................................... 3
B. Kedudukan Filsafat Ilmu dalam Sistematika Filsafat.. 3
C. Fungsi Filsafat Ilmu dalam Ilmu Pengetahuan ........... 6
BAB  III : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................... 8
B. Saran-saran ............................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 9


BAB  I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbincangan mengenai filsafat ilmu baru mulai merebak di awal abad ke-20. Namun Francis Bacon pada abad ke-19 dapat dikatakan sebagai peletak dasar filsafat ilmu dalam hasanah bidang filsafat secara umum. Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa perhatian yang besar terhadap peran dan fungsi filsafat ilmu mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dalam hal ini ada semacam kekhawatiran di kalangan para ilmuwan, dan filsof, termasuk juga kalangan Agamawan, dalam hal ini penulis khususkan agama Islam, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dapat mengancam eksistensi umat manusia bahkan agama itu sendiri.
Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini, ialah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (ahlak) yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia ditandai oleh gejalah kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang menghawatirkan. 
Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan. Untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu, maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia. 
Disamping itu, salah satu tujuan filsafat ilmu adalah untuk mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrumen bukan tujuan. Dalam konteks yang demikian diperlukan suatu pandangan yang komprehensip tentang ilmu dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Dalam masyarakat beragama (Islam), ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi.
Namun, perlu juga diingat bahwa ikatan agama yang terlalu kaku dan terstruktur kadang kala dapat menghambat perkembangan ilmu. Karena itu, perlu kejelian dan kecerdasan memperhatikan sisi kebebasan dalam ilmu dan sistem nilai dalam agama agar keduanya tidak saling bertolak belakang. Disinilah perlu rumusan yang jelas tentang ilmu secara filosofis dan akademik serta agama agar ilmu dan teknologi tidak menjadi bagian yang lepas dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan serta lingkungan.
Dari pemaparan di atas, penulis mencoba  untuk membahas lebih jauh tentang kedudukan filsafat ilmu khususnya dalam sistematika filsafat dan ilmu pengetahuan.
BAB  II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Ilmu
Arti filsafat ilmu menurut The Liang Gie adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Sedangkan menurut Cornilius Binjamin filsafat ilmu adalah merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistimatis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, dan peranggapan-peranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual. 
Untuk lebih jelasnya, kita beri contoh, dalam kehidupan sehari-hari kita sudah terbiasa memanfaatkan benda-benda disekeliling kita, untuk itu wajar kalau kita mengenalnya dengan baik. Mulai dari perabotan rumah tangga, alat sekolah, flora dan fauna dan lain sebagainya . Pernahkah kita memikirkan bagaimana kita tiba-tiba memberi sebutan sesuatu dengan istilah tertentu? Bagaimana sebenarnya proses perkenalan kita dengan benda yang kita beri sebutan tertentu itu? Demikianlah, dengan adanya filsafat ilmu kita akan mengetahui atau minimal kita akan dilatih untuk berfikir tentang suatu ilmu itu diperoleh.
B. Kedudukan Filsafat Ilmu dalam Sistematika Filsafat
Perbedaan filsafat ilmu dengan filsafat atau ilmu-ilmu lain seperti sejarah ilmu, psikologi, sosiologi, dan sebagainya terletak pada masalah yang hendak dipecahkan dan metode yang akan digunakan. Filsafat ilmu tidak berhenti pada pertanyaan mengenai bagaimana pertumbuhan serta cara penyelenggaraan ilmu dalam kenyatannya, melainkan mempermasalahkan masalah metodologik, yakni mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat menyatakan bahwa ia memperoleh pengetahuan ilmiah.
Pertanyaan seperti itu tidak dapat dijawab oleh ilmu itu sendiri tetapi membutuhkan analisa kefilsafatan mengenai tujuan serta cara kerja ilmu. Pertalian antara filsafat dan ilmu harus terjelma dalam filsafat ilmu.
Kedudukan filsafat ilmu dalam lingkungan fisafat secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
1. Bahwa filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat ilmupengetahuan (epistemologi).
2. Filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan metodologi, dan dalam hal ini kadang-kadang filsafat ilmu dijumbuhkan dengan metodologi.
Hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan lebih erat dalam bidang ilmu pengetahuan manusia.
Orang yang tidak berfilsafat tidak akan mengerti bagaimana sebaiknya ilmu pengetahuan tersebut diperlakukan. Yang mana dalam pemanfaatan tersebut tidak didasari dengan rasa keruhanian yang taat akan Tuhannya. Maka dari landasan itulah filsafat ilmu berperan penting dalam islamisasi ilmu pengetahuan. 
Pada dasarnya filsafat ilmu bertugas memberi landasan filosofi untuk memahami berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Secara subtantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dan disiplin ilmu masing-masing agar dapat menampilkan teori subtantif. Selanjutnya secara teknis dihadapkan dengan bentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoprasionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing.
Sedangkan kajian yang dibahas dalam filsafat ilmu adalah meliputi hakekat (esensi) pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti; ontologi ilmu, epistimologi ilmu dan aksiologi ilmu. Dari ketiga landasan tersebut, bila dikaitkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan maka letak filsafat ilmu itu terletak pada ontologi dan epistimologinya. 
Ontologi disini titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki seorang ilmuwan, jadi landasan ontologi ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang ilmuwan terhadap realitas. Manakala realitas yang dimaksud adalah materi, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu empiris. Manakala realitas yang dimaksud adalah spirit atau roh, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu humanoria.
Sedangkan epistimologi titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang di dasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran.
Dari penjelasan diatas kita dapat mengetahui bahwa kedudukan filsafat ilmu dalam ilmu pengetahuan terletak pada ontologi dan epistemologinya ilmu pengetahuan tersebut.. Ontologi titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki seorang ilmuwan, jadi landasan ontologi ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang ilmuwan terhadap realitas. Manakala realitas yang dimaksud adalah materi, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu empiris. Manakala realitas yang dimaksud adalah spirit atau roh, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu humanoria. Dan epistimologi titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang di dasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran.
C. Fungsi Filsafat Ilmu dalam Ilmu Pengetahuan
Fungsi filsafat ilmu dalam ilmu pengetahuan adalah sebagai pemberi nilai terhadap perkembangan ilmu, dan ini akan dijelaskan oleh aksiologi ilmu yang  bertitik tolak pada pengenbangan ilmu pengetahuan yang merupakan sikap etis yang harus di kembangkan oleh seorang ilmuwan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Sehingga suatu aktivitas ilmiah senantiasa dikaitkan dengan kepercayaan, idiologi yang di anut oleh masyarakat atau bangsa tempat ilmu itu di kembangkan.
Pertama, filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah, maksudnya seorang ilmuwan musliam harus memilki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap nsolipsistik, menganggap bahwa hanya pendapatnya yang paling benar. Adapun kaitannya denga Islamisasi ilmu pengetahuan fungsi filsafat ilmu adalah sebagai sikap kritis terhadap keilmuwan yang dimiliki oleh ilmuwan muslim.
Kedua, filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuwan. Sebab kecenderungan yang terjadi di kalangan ilmuwan modern adalah menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang diperlukan disini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai atau cocok dengan setruktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya. Metode hanya sarana berfikir, bukan merupakan hakekat ilmu. Dalam Islamisasi ilmu pengetahuanyang paling pokok adalah terdapat pada bagaimana cara untuk mempertmukan antara nilai-nilai agama dengan kemajuan ilmmu pengetahuan. Agar keduanya bisa saling mengisi kekurangan dan kelebihannya.
Filsafat ilmu diperlukan kehadirannya ditengah perkembangan Islamisasi ilmu pengetahuan yang ditandai semakin menajamnya spisialisasi ilmu pengetahuan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, maka para ilmuwan muslim akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap kedalam sikap arogansi intelektual. Hal yang di perlukan adalah sikap keterbukaan diri dikalangan ilmuwan muslim, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mengarahkan seluruh potensi keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan umat manusia.


BAB  III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perbedaan filsafat ilmu dengan filsafat atau ilmu-ilmu lain terletak pada masalah yang hendak dipecahkan dan metode yang akan digunakan. Filsafat ilmu tetap mempermasalahkan masalah metodologik, yakni mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat menyatakan bahwa ia memperoleh pengetahuan ilmiah.
2. Kedudukan filsafat ilmu dalam ilmu pengetahuan terletak pada ontologi dan epistemologinya ilmu pengetahuan tersebut. Ontologi titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas sikap dan pendirian. Dan epistimologi titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang di dasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran.
3. Fungsi filsafat ilmu dalam ilmu pengetahuan yaitu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. Dan filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuwan.
B. Saran-saran
Dalam mendalami lebih jauh tentang kedudukan filsafat ilmu, perlu lebih banyak literatur dan bahan yang harus dipelajari agar dalam memahami filsafat selalu mempunyai rujukan yang tepat dan sesuai serta tidak bertentangan dengan agama dan negara.
DAFTAR PUSTAKA

The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu. Liberty, Yogyakarta, 1997

Amsal Bakhtiar, Dr. M.A. Filsafat Ilmu. Rajawali Pers.

Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

Abied. Kedudukan Filsafat Ilmu dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Kontribusinya dalam Krisis Masyarakat Modern (online) http://www.masbied.com/2009/11/01/kedudukan-filsafat-ilmu-dalam-islamisasi-ilmu-pengetahuan-dan-kontribusinya-dalam-krisis-masyarakat-modern/#more-358 Kamis, 31 Maret 2011

Kali Akbar. Kedudukan Filsafat Ilmu (onlline) http://budak-maja.blogspot.com/2010/05/kedudukan-filsafat-ilmu-dalam.html Kamis, 31 Maret 2011

Utiya. Filsafat Ilmu Pengetahuan (online) http://utiya.multiply.com/ journal/item/7/Filsafat_Ilmu_Pengetahuan Kamis, 31 Maret 2011

________ ¬Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia (online) http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1862517-filsafat-ilmu-perkembangannya-di-indonesia/ Kamis, 31 Maret 2011


Link Download Makalah Gratis Via Mediafire:
Daftar Pustaka : http://adf.ly/1LpSms

Makalah Fiqih - Etika Istinja

Makalah Fiqih - Etika Istinja
Oleh: Qyu Ahmad


Link Download Gratis:
Daftar Pustaka: http://adf.ly/1LpQrs


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB  I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................... 1
BAB  II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Istinja ..................................................... 2
B. Tata Cara Istinja ..................................................... 3
C. Adab Dalam Beristinja ............................................ 6
BAB  III : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 9


BAB  I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah telah menjelaskan syari’at Islam dengan sempurna. Tidaklah ada sesuatupun dari perkara yang kecil maupun yang besar, dari perkara-perkara yang bersentuhan dengan kehidupan dan kemaslahatan umat manusia, hingga adab istinja’ dan buang hajat, kecuali telah dijelaskan. 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam telah mengabarkan dalam suatu riwayat yang shahih, bahwa ada seorang yang di adzab dalam kuburnya dengan sebab tidak membersihkan dirinya dari kencing yang menimpa dirinya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam telah mengabarkan pula bahwa kebanyakan siksa kubur adalah dari sebab kencing. Hal ini memberikan gambaran kepada kita, bahwa perkara yang berkaitan dengan adab istinja’ dan buang air, sangatlah penting untuk diketahui dan kemudian kita praktekkan dalam kehidupan kita.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang masalah istinja baik tata cara beristinja maupun adab-adab dalam beristinja.


BAB  II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istinja
Istinja’  yaitu membasuh dubur dan qubul dari najis (kotoran) dengan menggunakan air yang suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-benda lain yang menempati kedudukan air dan batu, yang dilakukan setelah kita buang air. Air adalah seutama-utama alat bersuci, karena ia lebih dapat mensucikan tempat keluarnya kotoran yang keluar dari dubur dan qubul, dibandingkan dengan selainnya
Allah swt berfirman yang artinya: “Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalam masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. at Taubah :108)
Istinja’ dengan menggunakan batu, kayu, kain dan segala benda yang menempati kedudukannya (yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dibur dan qubul) diperbolehkan menurut kebanyakan ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam membolehkan istinja’ dengan menggunakan batu dan benda-benda lain yang dapat membersihkan najis yang keluar dari dubur dan qubul. Seseorang dikatakan suci dengan menggunakan batu dan benda lain yang suci apabila telah hilang najis dan basahnya tempat disebabkan najis, dan batu terakhir atau yang selainnya keluar dalam keadaan suci, tidak ada bekas najis bersamanya.
Beristinja’ dengan menggunakan batu dan selainnya tidaklah mencukupi kecuali dengan menggunakan tiga batu. Salman al Farizi radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan tangan kanan atau kurang dari tiga batu.” (HR. Muslim)
Rasulullah saw tidak memperbolehkan seseorang untuk beristinja` dengan menggunakan tulang ataupun suatu benda yang dimuliakan. Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam melarang kami dari istinja’ dengan menggunakan kotoran binatang dan tulang.” (HR. Muslim)

B. Tata Cara Istinja
Tata cara seorang pemeluk suatu agama dalam beribadah kepada Tuhannya mempunyai aturan yang berbeda. Orang Jahiliyah misalnya, mereka menghadap sesuatu yang dipertuhankan dalam keadaan telanjang bulat, sebab keyakinan mereka pakaian itu memberikan kesan tidak baik. Lantaran pakaian sudah dipergunakan berbuat dosa sehingga tidak layak dipakai untuk beribadat kepada Tuhan.
Tetapi lain halnya dengan agama Islam yang justru mensyariatkan kesucian luar-dalam (dzahiran wa batinan) untuk melakukan ibadah. Aspek luar (dzahir) meliputi badan, pakaian dan tempat yang harus suci dari najis. Sedangkan sisi dalam (batin) harus juga suci dari hadats basar atau kecil (al-hadats al-ashghar wa al-akbar). Hukum pelaksanaan penyucian ini wajib, karena menjadi pintu dari keabsahan ibadah yang hukum wajib, seperti shalat, sebagaimana disebutkan dalam kaidah fiqih: “Sesutu yang menyempurnakan perkara wajib, maka sesutu itu hukumnya wajib”
Kalau hukum shalat wajib, maka wudlu hukumnya juga wajib karena menjadi sesuatu yang menyempurnakan pelaksanaan ibadah shalat. Sebagaimana untuk mensucikan diri dari hadats dengan wudlu, maka cara mensucikan diri dari najis yang keluar dari dua lubang depan dan belakang (qubul wa dubur) dengan istinja’ (membersihkan diri).
Pada suatu hari Nabi Muhammad saw, memberikan pengajaran tentang tata cara istinja’ yang benar, “jika kalian membuang hajat (membuang air besar/kecil), maka ber- istinja’-lah dengan tiga batu !” Begitulah tata cara membersihkan diri dari kotoran yang keluar dari dua jalan dalam tubuh kita pada periode pertama. Pada masa berikutnya Allah swt, memberikan isyarat tentang kebersihan dan kesucian dengan menurunkan wahyu-Nya yang artinya “Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah swt, mnyukai orang-orang yang bersih.” (QS. Taubah:109).
Dalam ayat ini Allah swt, memuji penduduk Quba’ dalam hal tata cara bersuci. Tatkala Rasulallah saw, menanyakan tentang prihal tersebut kepada mereka, orang-orang Quba’ itu menjawab bahwa tata cara bersuci yang dilaksanakan ialah dengan menggunakan batu terlebih dahulu kemudian dengan air. Sejarah ini lalu dijadikan sumber ketetapan hukum dalam hal tata cara bersuci yang lebih baik (afdhal) dalam Islam.
Dari peristiwa inilah, sesuatu yang digunakan untuk membersihkan diri (istinja’) adalah air dan batu. Apabila air tidak ada, maka diperbolehkan dengan batu atau yang semakna dengan batu. adapun syarat-syarat penggunaan istinja’ dengan batu sebagai berikut:
1. harus terdiri dari tiga batu atau satu batu dengan tiga sudut, meski umpama kebersihan sudah diperoleh tanpa tiga batu atau satu batu dengan tiga sudut.
2. harus bisa membersihkan najis dari tempat keluar kotoran.
3. najis yang akan disucikan tidak boleh sampai kering. Karena apabila sampai kering, maka batu tidak dapat menghilangkan najis dengan seketika. Jika najis itu kering seluruhnya atau sebagian, maka cara bersuci dengan menggunakan air.
4. najis tidak boleh berpindah dari tempat asalnya (tempat keluarnya kotoran).
5. tidak ada sesuatu yang lain, seperti najis lain atau sesuatu yang suci (misalnya air) selain keringat.
6. sesuatu yang keluar itu tidak melapaui/mengenai tampat sekitar keluarnya kotoran (dubur, saat buang air besar atau ujung dzakar/qubul, ketika buang air kecil).
7. najis tidak terkena air (yang bisa mensucikan) atau cairan, walaupun air/cairan itu suci, setelah dan atau sebelun ber-istinja’. Dari ketetapan ini, maka dengan batu yang basah tidak sah, karena batu tersebut menjadi najis.
8. batu yang digunakan harus suci, bukan yang terkena najis (al-mutanajjis).
Tata cara bersuci tersebut merupakan bagian dari dispensasi (min al-rukhas) dan ciri khas (min al-khususiyat) umat Nabi Muhammad saw. Dari sisi medis, setelah diadakan penelitian oleh para ahli kesehatan ternyata batu mengandung zat antibiotik.
Adapun istinja’ dengan sesuatu yang semakna dengan batu memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
1. sesuatu itu suci.
2. harus bisa menghilangkan najis secara efektif dari tempatnya keluarnya kotoran menurut pendapat yang sahih.
3. bukan sesuatu yang dimuliakan secara syariat, seperti sesuatu yang di makan, menurut pendapat yang sahih.
C. Adab Dalam Beristinja
Untuk mempermudah pembahasan, maka adab-adab ini secara umum kami bagi menjadi dua bagian:
1. Hal-hal yang disyariatkan dalam istinja
a. Disunnahkan beristinja` dengan menggunakan air, karena dia lebih menyucikan dan lebih membersihkan tempat keluarnya najis.
b. Dianjurkan masuk ke wc dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan.
c. Sebelum masuk ke wc, disunnahkan membaca doa: “Bismillah, Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Bismillah, Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan lelaki dan setan wanita).”
d. Diwajibkan untuk menjaga aurat ketika istinja, jangan sampai auratnya terlihat oleh orang lain, selain istri dan budaknya.
e. Diwajibkan untuk menjaga tubuh dan pakaian dari najis ketika buang air.
f. Disunnahkan menggosokkan tangan kiri ke tanah atau mencucinya dengan sabun setelah melakukan istinja.
2. Hal-hal yang dilarang dalam istinja
a. Dimakruhkan berbicara dengan pembicaraan yang berhubungan dengan keagamaan.
b. Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka dimakruhkan juga membawa mushaf atau buku atau yang semisalnya, kalau di dalamnya terdapat ayat Al-Qur`an atau zikir kepada Allah.
c. Diharamkan menghadap dan membelakangi kiblat (Ka’bah) dalam buang air secara mutlak, baik di luar bangunan maupun di dalam bangunan.

BAB  III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Istinja’  yaitu membasuh dubur dan qubul dari najis (kotoran) dengan menggunakan air yang suci lagi mensucikan atau batu yang suci dan benda-benda lain yang menempati kedudukan air dan batu, yang dilakukan setelah kita buang air. Air adalah seutama-utama alat bersuci, karena ia lebih dapat mensucikan tempat keluarnya kotoran yang keluar dari dubur dan qubul, dibandingkan dengan selainnya.
2. Agama Islam yang justru mensyariatkan kesucian luar-dalam (dzahiran wa batinan) untuk melakukan ibadah. Aspek luar (dzahir) meliputi badan, pakaian dan tempat yang harus suci dari najis. Sedangkan sisi dalam (batin) harus juga suci dari hadats basar atau kecil (al-hadats al-ashghar wa al-akbar). Hukum pelaksanaan penyucian ini wajib, karena menjadi pintu dari keabsahan ibadah yang hukum wajib.
3. Adab-adab ini secara umum kami bagi menjadi dua bagian: Hal-hal yang disyariatkan dalam istinja dan Hal-hal yang dilarang dalam istinja



DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah. Jilid 1-2. Bandung: PT Al- Ma’arif, Cet 3.


Dr. H. Nasrun Harun, MA. 2000. Fiqh Muamalat. Jakarta: Gaya Media Pratama.


Faisal Abdi. 2008. Thaharah dari Hadats dan Najis (online) http://4moslem.wordpress.com/2008/11/04/thaharah-dari-hadats-dan-najis/ Jum’at, 20 Mei 2011


Madarik Yahya. 2009. Tata Cara Bersuci (online) http://madarikyahya.wordpress.com/2009/10/20/tata-cara-bersuci/ Jum’at, 20 Mei 2011


Abu Muawiyah. 2008. Adab-Adab Istinja (Buang Air) (online) http://al-atsariyyah.com/adab-adab-istinja-buang-air.html  Jum’at, 20 Mei 2011


Link Download Gratis:
Daftar Pustaka: http://adf.ly/1LpQrs

Makalah Ilmu Pendidikan Islam

Makalah Ilmu Pendidikan Islam
Oleh: Qyu Ahmad

Link Download Gratis Via Mediafire:
Single Link: http://adf.ly/1LdCdY


PENDAHULUAN

Sejak manusia menuntut kemajuan menuntut kemajuan dan kehidupan, maka sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Maka dari itu dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi sejalan dengan tuntutan kemajuan masyarakat.
Bila mana pendidikan kita artikan sebagai latihan mental, moral dan fisik (jasmaniah) yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah, maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab.
Tujuan dan sasaran pendidikan berbeda-beda menurut pandangan hidup masing-masing pendidik atau lembaga pendidikan. Oleh karena itu maka perlu dirumuskan pandangan hidup Islam yang mengarah tujuan dan sasaran pendidikan Islam.
Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat tersebut, karena pendidikan merupakan usaha melestarikan, dan mengalihkan serta mentransformasi nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi penerus.
Pendidikan Islam, bila dilihat dari segi kehidupan kultural umat manusia tidak lain adalah merupakan salah satu alat pembudayaan (ekulturasi) masyarakat itu sendiri. Sebagai suatu alat, pendidikan dapat difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial kepada titik optimal kemampuan untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat.
Pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu memiliki persyaratan yang harus dipenuhi, menurut ketentuan ilmu pengetahuan sosial (social science) secara umum adalah mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Memiliki objek pembahasan yang jelas dan bercorak khas kependidikan yang ditunjang dengan ilmu pengetahuan yang relevan.
b. Memiliki pandangan, teori, asumsi atau hipotesa-hipotesa yang bercorak kependidikan (paedagogis) bersumber ajaran Islam.
c. Mempunyai metode penganalisaan yang sesuai dengan tuntutan dari corak keilmuan kepribadian yang bernafaskan Islam atas dasar pendekatan-pendekatan yang relevan dengan corak dan watak keilmuan tersebut.
d. Memiliki struktur keilmuan yang definitif mengandung suatu kebulatan dari bagian-bagian yang satu sma lain berkaitan sebagai suatu sistem keilmuan yang mandiri (yang tidak tergantung kepada sistem keilmuan yang lain).
Dalam pembahasan lebih jauh dan spesifik, akan diuraikan beberapa hal tentang Ilmu Pendidikan Islam diantaranya tentang Dasar Ilmu Pendidikan Islam, Tujuan Ilmu Pendidikan Islam dan Kegunaan Ilmu Pendidikan Islam.



DASAR ILMU PENDIDIKAN ISLAM

Ilmu pendidikan islam merupakan pengetahuan yang menjelaskan secara ilmiah tentang bimbingan atau tuntunan kepada anak dalam perkembangannya agar tumbuh menjadi pribadi muslim sebagai anggota masyarakat yang hidup selaras dan seimbang dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia dan di akhirat.
Dasar Ilmu Pendidika Islam adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijtihad.
1. Al Qur’an
Ayat Al Qur’an yang pertama kali turun adalah berkenaan masalah pendidikan disamping juga masalah tauhid atau keimanan. Allah berfirman yang artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dengan segumapal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada menusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq : 1-5).
Pendidikan Islam harus menggunakan Al Qur’an sebagai sumber dan dasar dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan islam sesuai dengan perubahan dan pembaruan.
2. As Sunnah
As Sunnah adalah dasar kedua sesudah Al Qur’an yang juga sama berisi pedoman untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Untuk itulah Rasulullah  menjadi guru dan pendidik utama.
Selain itu juga sebagai dasar kedua terhadap segala aktivitas umat Islam termasuk aktivitas dalam pendidikan. Banyak hadis yang berhubungan dengan pendidikan diantaranya Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Barang siapa yang menyembunyikan Ilmunya maka Tuhan akan mengekangnya dengan kekang api neraka.” (HR. Ibnu Majah).
3. Ijtihad
Yang dimaksud Ijtihad dengan kaitannya sebagai dasar ilmu pendidikan Islam adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan ulama Islam di dalam memahami nas-nas Al Qur’an dan sunah Nabi yang berhubungan dengan penjelasan dan dalil tentang dasar pendidikan islam, sistem dan arah pendidik islam.
Ijtihad dalam bidang pendidikan sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju bukan saja dibidang materi atau isi, melainkan juga dibidang sistem. Secara substansial, ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam.






TUJUAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM

Dikatakan oleh Dr. Zakiah Darajat bahwa tujuan pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian seseorang yang membuat menjadi insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT.
Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dengan berhubungan kepada Allah dan dengan sesamanya. Tujuan ini kelihatannya terlalu ideal, sehingga sukar untuk dicapai, tetapi dengan kerja keras yang dilakukan secara berencana dengan kerangka-kerangka kerja yang konsepsional mendasar, pencapaian tujuan itu bukanlah sesuatu yang mustahil.
Dalam hal tujuan ilmu pendidikan islam, terdapat banyak kajian-kajian yang berusaha menentukan tujuan-tujuan pendidikan sesuai dengan yang dipahami dari keterangan-keterangan dan dari sejarah pemikiran dan pendidikan Islam baik itu tujuan umum ataupun tujuan secara khusus.
Secara garis besar, tujuan ilmu pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat. (lihat S. Adz-Dzariat: 56; dan S. Ali Imran: 102)
Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertaqwa menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan Islam sifatnya lebih praktis, sehingga konsep pendidikan islam menjadi tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan ini dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai didalam tahap-tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.
Dalam tujuan khusus, tahap-tahap penguasaan anak didik terhadap bimbingan yang diberikan dalam berbagai aspeknya: pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, keterampilan atau dengan istilah lain, kognitif, afektif dan psikomotor. Dari tahapan ini kemudian dapat dicapai tujuan-tujuan yang lebih rinci lengkap dengan materi, metode, dan sistem evaluasi.
Dari beberapa penjelasan tentang tujuan pendidikan islam diatas, dapat kita simpulkan bahwa tujuan akhir pedidikan islam adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh disamping badan, kemauan yang bebas, dan akal. Dengan kata lain, tugas pendidikan adalah mengembangkan keempat aspek ini pada manusia agar ia dapat menempati kedudukan sebagai khalifah.




KEGUNAAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM

Kegunaan ilmu pendidikan Islam sejalan dengan tujuan ilmu pendidikan Islam. Ilmu pendidikan Islam mempunyai arti dan peranan penting dalam kehidupan. Hal tersebut disebabkan ilmu pendidikan Islam mempunyai kegunaan atau fungsi sebagai berikut:
1. Ilmu pendidikan Islam melakukan pembuktian terhadap teori-teori kependidikan islam yang merangkum aspirasi atau cita-cita islam yang harus diikhtisarkan agar menjadi kenyataan.
2. Ilmu pendidikan islam memberikan informasi tentang pelaksanaan pendidikan dalam segala aspeknya bagi pengembangan ilmu pengetahuan pendidikan islam tersebut, ia memberikan bahan masukan berharga kepada ilmu ini, mekanisme proses kependidikan islam dari segi operasional dapat disamakan dengan proses mekanisme yang berasal dari penerimaan inpur (bahan masukan), lalu diproses dalam kegiatan pendidikan (dalam bentuk kelembagaan atau non kelembagaan), kemudian berakhir pada output (hasil yang diharapkan). Dari hasil yang diharapkan ini timbul umpan balik yang mengoreksi bahan masukan. Mekanisme proses semacam ini berlangsung terus-menerus selama proses kependidikan terjadi. Semakin banyak diperoleh bahan masukan dari pengalaman operasional itu, semakin berkembang pula ilmu pendidikan islam.
3. Menjadi pengoreksi (korektor) terhadap teori-teori yang terdapat pada ilmu pendidikan islam itu sendiri, sehingga kemungkinan pertemuan teori dengan praktek semakin dekat, dan hubungan antara keduanya semakin bersifat interaktif (saling mempengaruhi).
Bila dilihat secara operasional, fungsi pendidikan islam dapat dilihat dari dua bentuk yaitu:
1. Alat untuk memperluas, memelihara dan menghubungkan pendidikan islam sengan tingkat-tingkat kebudayaan, nilai-nilai tradisi dan sosial dan ide-ide masyarakat dan nasional.
2. Alat untuk mengadakan perubahan inovasi dan perkembangan pendidikan islam.














KESIMPULAN

1. Pendidikan Islam dilihat dari segi kehidupan kultural umat manusia tidak lain adalah merupakan salah satu alat pembudayaan (ekulturasi) masyarakat itu sendiri. Sebagai suatu alat, pendidikan dapat difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial kepada titik optimal kemampuan untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat.
2. Dasar Ilmu Pendidika Islam adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijtihad.
a. Pendidikan Islam harus menggunakan Al Qur’an sebagai sumber dan dasar dalam merumuskan berbagai teori tentang pendidikan islam sesuai dengan perubahan dan pembaruan.
b. As Sunnah adalah dasar kedua sesudah Al Qur’an yang juga sama berisi pedoman untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa. Selain itu juga sebagai dasar kedua terhadap segala aktivitas umat Islam termasuk aktivitas dalam pendidikan.
c. Ijtihad dalam bidang pendidikan sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju bukan saja dibidang materi atau isi, melainkan juga dibidang sistem. Secara substansial, ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam.
3. Tujuan ilmu pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat.
4. Tujuan akhir pedidikan islam adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh disamping badan, kemauan yang bebas, dan akal. Dengan kata lain, tugas pendidikan adalah mengembangkan keempat aspek ini pada manusia agar ia dapat menempati kedudukan sebagai khalifah.
5. Ilmu pendidikan Islam mempunyai kegunaan atau fungsi sebagai berikut:
a. Ilmu pendidikan Islam melakukan pembuktian terhadap teori-teori kependidikan islam yang merangkum aspirasi atau cita-cita islam yang harus diikhtisarkan agar menjadi kenyataan.
b. Memberikan informasi tentang pelaksanaan pendidikan dalam segala aspeknya bagi pengembangan ilmu pengetahuan pendidikan islam.
c. Menjadi pengoreksi (korektor) terhadap teori-teori yang terdapat pada ilmu pendidikan islam itu sendiri, sehingga kemungkinan pertemuan teori dengan praktek semakin dekat, dan hubungan antara keduanya semakin bersifat interaktif (saling mempengaruhi).





DAFTAR PUSTAKA


Dra. Hj. Nur Uhbiyati.  1997.  Ilmu Pendidikan Islam.  Bandung:  CV Pustaka setia.

Zakiah Darajat, Prof.,  Dr.  1991.  Ilmu Pendidikan Islam.  Jakarta:  PT. Bumi Aksara.

Cholil Usman, Drs,. 1998. Ikhtisar Ilmu Pendidikan Islam. Surabaya:  Duta Aksara

Sutisna Senjaya. 2010. Ciri-Ciri dan Tujuan Pendidikan Islam (online) www.sutisna.com/artikel/artikel-kependidikan/ciri-ciri-dan-tujuan-pendidikan-islam/ Sabtu, 26 Maret 2011

Imam Mawardi. 2008. Ilmu Pendidikan Islam (online) www.mawardiumm.wordpress.com/2008/02/27/ilmu-pendidikan-islam/ Sabtu, 26 Maret 2011

Syukur Setiawan. 2011. Dasar-dasar Pendidikan Islam (online) www.blog.uin-malang.ac.id/filsafat/2011/03/19/dasar-dasar-pendidikan-islam/ Sabtu, 26 Maret 2011

Admin. 2008. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Islam (online) www.makalah-ibnu.blogspot.com/2008/10/hakikat-dan-tujuan-pendidikan-islam.html Sabtu, 26 Maret 2011

Starawaji. 2009. Fungsi Ilmu Pendidikan (online) www.starawaji.wordpress.com/2009/06/20/fungsi-ilmu-pendidikan/ Sabtu, 26 Maret 2011


Link Download Gratis Via Mediafire:
Single Link: http://adf.ly/1LdCdY

Makalah Fiqih - Ibadah

Makalah Fiqih - Ibadah
Oleh : Qyu Ahmad



Link Download Gratis Via Mediafire:
Daftar Pustaka: http://adf.ly/1LdDRg


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB  I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................... 1
BAB  II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Ibadah ................................................... 2
B. Hakikat Ibadah ....................................................... 3
C. Klasifikasi Ibadah ................................................... 5
D. Syarat diterimanya Ibadah ........................................ 6
BAB  III : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 9


BAB  I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya di-puji dan yang enggan melaksanakannya dicela.
Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, nis-caya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” (Q.S. Al-Mu'min: 60).
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas masalah-masalah yang berkaitan tentang ibadah.
BAB  II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ibadah
Islam tidak saja memiliki pokok-pokok kepercayaan tetapi juga memiliki sistem ibadah. Al-Qur’an sebagai sumber dan dasar utama Islam mengandung ajaran tentang berbagai hal yang terkait dengan peribadatan yang tujuan pokoknya adalah kemulyaan dan kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan melakukan hubungan dengan Allah dan manusia. Firman Allah yang artinya "Ditimpakan atas mereka kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang dengan tali Allah dan tali hubungan dengan manusia." (Q.S. Ali-Imran: 112).
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
1 Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah menurut kamus bahasa Indonesia adalah amalan yang diniatkan untuk berbakti kepada Allah yang pelaksanannya diatur oleh syariah, ketaatan menjauhi larangan Allah dan melaksanakan perintah Allah.
Dari keterangan diatas kita dapat membuat kesimpulan bahwa makna Ibadah menurut istilah ialah: Seluruh kegiatan lahir dan batin dalam pengamalan aqidah, syariah dan akhlak yang diikuti dengan rasa cinta kepada Allah SWT.

B. Hakikat Ibadah
Allah berfirman dalam Surah Adz Zariyat ayat 56 yang artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Adz Zariat:56)
Allah telah ciptakan jin dan manusia untuk beribadah, bahkan kegiatan ibadah ini tidak saja dilakukan oleh manusia sekarang setelah nabi SAW, tetapi ibadah ini merupakan kegiatan manusia sebelum nabi SAW. Oleh karena itu, ibadah adalah misi dan tugas manusia yang Allah tunjukkan. Manusia hidup untuk ibadah bukan untuk yang lainnya. Setiap gerak dan langkah manusia adalah ibadah, apakah dalam bekerja, di rumah, di sekolah dan di mana saja. Dengan demikian, ibadah adalah tugas manusia yang perlu dihayati dengan ilmu dan amal.
Hakikat ibadah yang merupakan tugas kehidupan manusia adalah menyembah Allah dan mengingkari thaghut. Motivasi kita beribadah adalah merasakan bahwa begitu banyak nikmat Allah pada diri kita seperti mata, telinga, rezeki, harta, anak, isteri, dan pendidikan yang menyebabkan kita harus selalu bersyukur pada-Nya. Selain itu, motivasi ibadah juga didasarkan kepada rasa keagungan Allah SWT dan kehebatan-kehebatan-Nya yang dapat dilihat dari ciptaan-Nya di alam semesta ini. Dengan perasaan bahwa nikmat Allah yang begitu besar dan begitu agungnya Allah, maka kita termotivasi mengabdi hanya kepada Allah saja.
Ibadah yang dilakukan hendaknya merupakan wujud dari penghinaan diri, cinta, dan ketundukan manusia pada Rabb-Nya. Ibadah memiliki berbagai tingkatan yang menentukan hasil ibadah itu sendiri di sisi Allah. Ibadah tanpa diikuti dengan kecintaan dan ketundukan akan menjadikan ibadah sia-sia dan kurang bermakna bagi kehidupan individu tersebut. Begitu pula ibadah tanpa rasa penghinaan diri. Ibadah yang menambah kemantapan apabila dilakukan dengan penuh rasa takut dan harap. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah dilakukan secara khusyuk.
Pada hakekatnya dengan ibadah , manusia menunjukan pengabdian sebagai hamba terhadap Allah, sebagai tanda ketaqwaannya kepada Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah ayat 21 Allah berfirman yang artinya”Hai manusia , sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa.
Dalam syariat Islam tujuan akhir dari semua aktivitas hidup manusia adalah pengabdian, penyerahan diri yang total terhadap ketentuan Allah, sehingga terwujud sikap dan prilaku yang lahir dari rasa yakin akan pengabdiannya kepada Allah. Ibadah juga motivasi, dorongan, semangat hidup, yang bertujuan memdapat Ridho Allah.
C. Klasifikasi Ibadah
Dalam Ensiklopedia Islam terdapat beberapa klasifikasi dan bentuk ibadah sebagai berikut:
1. Secara  garis besar ibadah dibagi 2 macam:
a. Ibadah khassah (khusus) atau ibadah mahdah (ibadah yang ketentuannya pasti) , yang telah ditentukan pelaksanaanya seperti ibadah sholat, puasa, zakat, haji.
b. Ibadah ammah (umum) yaitu semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang iklash karena Allah SWT, seperti minum, makan, bekerja mencari nafkah.  Keduanya harus dilandasi dengan niat, semata-mata karena Allah SWT.
2. Klasifikasi Ibadah menurut pelaksanaannya
a. Ibadah Jasmani Rohaniah (perpaduan ibadah jasmani dan rohani) seperti Sholat dan Puasa
b. Ibadah rohaniah amaliah (perpaduan antara ibadah rohani dan harta) seperti zakat
c. Ibadah rohani, jasmani, dan amaliah seperti Haji.
3. Klasifikasi Ibadah menurut kepentingan
a. Kepentingan fardl (perorangan) seperti sholat, puasa
b. Kepentingan ijtima’i (masyarakat) seperti zakat dan Haji
4. Ibadah ditinjau dalam segi bentuk dan sifatnya
a. Ibadah dalam bentuk lisan seperti Zikir, berdoa, membaca Al-Quran
b. Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya seperti membantu orang lain, ”jihad, dan tajhiz al-janazah (mengurus jenazah).
c. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujudnya perbuatannya seperti salat, puasa, zakat , haji.
d. Ibadah yang tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti puasa”iktikaf, dan ihram
e. Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak seperti memaafkan orang lain yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berutang kepadanya.
D. Syarat Diterimanya Ibadah
Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan ada syarat:
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
2. Sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam .
Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illa-llah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya ta’at kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan kecuali bid’ah hasanah (yang baik).
Allah SWT berfirman: “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 112)
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahuwa muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti RasulNya Shallallaahu alaihi wa Salam.
Syaikhul Islam mengatakan: “Inti agama ada dua pokok yaitu kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan kita tidak menyembah kecuali dengan apa yang Dia syariatkan.

BAB  III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Ibadah menurut istilah ialah: Seluruh kegiatan lahir dan batin dalam pengamalan aqidah, syariah dan akhlak yang diikuti dengan rasa cinta kepada Allah SWT.
2. Hakikat ibadah yang merupakan tugas kehidupan manusia adalah menyembah Allah dan mengingkari thaghut. Motivasi kita beribadah adalah merasakan bahwa begitu banyak nikmat Allah pada diri kita. Selain itu, motivasi ibadah juga didasarkan kepada rasa keagungan Allah SWT  yang dapat dilihat dari ciptaan-Nya di alam semesta ini.
3. Secara  garis besar ibadah dibagi 2 macam: Ibadah khassah (khusus) atau ibadah mahdah (ibadah yang ketentuannya pasti) , yang telah ditentukan pelaksanaanya seperti ibadah sholat, puasa, zakat, haji. Dan Ibadah ammah (umum) yaitu semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat yang iklash karena Allah SWT, seperti minum, makan, bekerja mencari nafkah.  Keduanya harus dilandasi dengan niat, semata-mata karena Allah SWT.
4. Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan ada syarat: Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil, dan Sesuai dengan tuntunan Rasul SAW.
DAFTAR PUSTAKA

Sayyid Sabiq. Fiqih Sunnah. Jilid 1-2. Bandung: PT Al- Ma’arif, Cet 3.


Dr. H. Nasrun Harun, MA. 2000. Fiqh Muamalat. Jakarta: Gaya Media Pratama.


Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. 2007. Pengertian Ibadah dalam Islam (online) http://almanhaj.or.id/content/2042/slash/1 Jum’at, 20 Mei 2011


Irwan Prayitno. 2008. Hakikat Ibadah (online) http://irwanprayitno.info/tarbiyah/1226462650-hakikat-ibadah.htm Jum’at, 20 Mei 2011


Dr. Liza. 2007. Ibadah dan Maknanya (online) http://doctorliza.blogspot.com/2007/11/ibadah-dan-maknanya.html Jum’at, 20 Mei 2011


Ummu Khansa. 2007.  Syarat diterimanya Ibadah (online) http://belajartauhid.wordpress.com/2007/10/01/syarat-diterimanya-ibadah/ Jum’at, 20 Mei 2011


Link Download Gratis Via Mediafire:
Daftar Pustaka: http://adf.ly/1LdDRg